STORYPOS – Dia adalah
Ummul Mu’minin Zainab bintu Jahsy bin Riab bin Ya’mar bin Shabirah bin Murrah
Al-Asadiyyah. Ibunya adalah Umaimah bintu Abdul Muthallib bin Hasyim bibi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pihak ayahnya.
Sifat-Sifatnya
Dia adalah seorang wanita yang cantik parasnya, merupakan penghulu
para wanita dalam hal agamanya, wara’nya, kezuhudannya, kedermawanannya, dan
kebaikannya.
Pernikahannya Dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Sebelum menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Zainab telah menikah dengan Zaid bin Haritsah, maula Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang kemudian dijadikan anak angkat oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dialah yang diceritakan Allah dalam firman-Nya,
وَإِذْ تَقُولُ
لِلَّذِي أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَنعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ
وَاتَّقِ اللهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَااللهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللهُ
أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ
لاَيَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَآئِهِمْ إِذَا قَضَوْا
مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللهِ مَفْعُولاً
“Dan
(ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan
nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: ‘Tahanlah
terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang kamu menyembunyikan di
dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia,
sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah
mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya). Kami kawinkan kamu
dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini)
isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah
menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu
pasti terjadi.” (QS. Al-Ahzab: 37)
Maka Allah nikahkan Zainab dengan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan nash Kitab-Nya tanpa wali dan tanpa saksi. Dan Zainab biasa
membanggakan hal itu di hadapan Ummahatul Mukminin (istr-istri Nabi) yang lain,
dengan mengatakan, “Kalian dinikahkan oleh wali-wali kalian, sementara aku
dinikahkan oleh Allah dari atas ‘Arsy-Nya.” (Diriwayatkan oleh Zubair bin Bakar
dalam Al-Muntakhob min Kitab Azwajin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 1:48
dan Ibnu Sa’d dalam Thabaqah Kubra, 8:104-105 dengan sanad yang shahih).
Di saat pernikahan Zainab dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam terjadi keajaiban yang merupakan mukjizat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagaimana diceritakan oleh Anas bin Malik, “Ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Zainab, ibuku berkata kepadaku,
‘Wahai Anas sesungguhnya hari ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah menjadi pengantin dalam keadaan tidak punya hidangan siang, maka ambilkan
wadah itu kepadaku!’ Maka aku berikan kepadanya wadah dengan satu mud kurma,
kemudian dia membuat hais dalam wadah itu, kemudian ibuku berkata, ‘Wahai Anas
berikan ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan istrinya!’
Kemudian datanglah aku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
membawa hais tersebut dalam sebuah bejana kecil yang terbuat dari batu, maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai Anas letakkan dia di
sisi rumah dan undanglah Abu Bakar, Umar, Ali, Utsman, dan beberapa orang
lain!’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, ‘Undang
juga penghuni masjid dan siapa saja yang engkau temui di jalan!’ Aku berkata,
‘Aku merasa heran dengan banyaknya orang yang diundang padahal makanan yang ada
sedikit sekali, tetapi aku tidak suka membantah perintah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka aku undanglah orang-orang itu sampai penuhlah rumah dan
kamar dengan para undangan.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memanggilku seraya berkata, ‘Wahai Anas apakah engkau melihat orang yang
melihat kita?’ Aku berkata, ‘Tidak wahai Nabiyullah’ Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bawa kemari bejana itu!’ Aku ambil bejana yang
berisi hais itu dan aku letakkan di depannya. Kemudian Rasulullah membenamkan
ketiga jarinya ke dalam bejana dan jadilah kurma dalam bejana itu menjadi
banyak sampai makanlah semua undangan dan keluar dari rumah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan kenyang.” (Diriwayatkan oleh
Firyabi dalam Dalail Nubuwwah, 1:40-41 dan Ibnu Sa’d dalam Thabaqah Kubra
8:104-105).
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab
orang-orang munafiq menggunjingnya dengan mengatakan: ‘Muhammad telah
mengharamkan menikahi istri-istri anak dan sekarang dia menikahi istri
anaknya!, maka turunlah ayat Allah,
مَّاكَانَ مُحَمَّدٌ
أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللهِ
“Muhammad
itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi
dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.” (QS. Al-Ahzab: 40)
Dan Allah berfirman,
ادْعُوهُمْ لأَبَآئِهِمْ
هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ
“Panggillah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah
yang lebih adil pada sisi Allah.” (QS. Al-Ahzab: 5)
Maka sejak saat itu Zaid dipanggil dengan Zaid bin Haritsah yang
dia sebelumnya biasa dipanggil dengna Zaid bin Muhammad (Al-Isti’ab, 4:1849-1850)
Turunnya Ayat Hijab
Anas bin Malik berkata, “Aku adalah orang yang paling tahu tentang
turunnya ayat hijab, ketika terjadi pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan Zainab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyiapkan
hidangan dan mengundang para sahabat sehingga mereka datang dan masuk ke
rumahnya. Ketika itu Zainab sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam di dalam rumah, kemudian para sahabat berbincang-bincang, saat itu
keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemudian kembali dalam
keadaan para sahabat duduk-duduk di rumahnya, saat itu turunlah firman Allah,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا لاَتَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلآَّ أَن يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ
غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ
فَانتَشِرُوا وَلاَمُسْتَئْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ
فَيَسْتَحْيِ مِنكُمْ وَاللهُ لاَيَسْتَحْيِ مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ
مَتَاعًا فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila
kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak
(makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai
makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang
demikian itu mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu ke
luar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta
sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari
belakang hijab (tabir).” (QS. Al-Ahzab: 53)
Saat itu berdirilah para sahabat dan diulurkan hijab. (Diriwayatkan
oleh Ibnu Sa’d dalam Thabaqoh Kubra, 8:105-106 dengan sanad yang shahih)
Keutamaan-Keutamaan Zainab
Aisyah berkata, “Zainab binti Jahsyi yang selalu menyaingiku di
dalam kedudukannya di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak
pernah aku melihat wanita seperti Zainab dalam hal kebaikan agamanya,
ketaqwaannya kepada Allah, kejujurannya, silaturrahimnya, dan banyaknya
shadaqahnya.” (Al-Isti’ab, 4:1851)
Aisyah berkata, “Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata kepada istri-istrinya, ‘yang paling cepat menyusulku dari kalian
adalah yang paling panjang tangannya,’ Aisyah berkata, ‘Maka kami setelah itu
jika berkumpul saling mengukur tangan-tangan kami di tembok sambil melihat mana
yang paling panjang, tidak henti-hentinya kami melakukan hal itu sampai saat
meninggalnya Zainab, padahal dia adalah wanita yang pendek dan tidaklah
tangannya paling panjang di antara kami, maka tahulah kami saat itu bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memaksudkan panjang tangan adalah yang
paling banyak bershadaqah. Adalah Zainab seorang wanita yang biasa bekerja
dengan tangannya, dia biasa menyamak dan menjahit kemudian menshadaqahkan hasil
kerjanya itu di jalan Allah’,” (Muttafaq Alaih)
Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada
Umar, “Sesungguhnya Zainab adalah wanita yang awwahah.” Seseorang bertanya,
“Apa yang dimaksud dengan awwahah wahai Rasulullah?” Rasulullahs shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang khusyu lagi merendahkan diri di hadapan
Allah.” (Al-Isti’ab, 4:1852)
Dari Barzah binti Rofi dia berkata, “Suatu saat Umar mengirimkan
sejumlah uang kepada Zainab, ketika sampai kepadanya Zainab berkata, ‘Semoga
Allah mengampuni Umar, sebenarnya selain aku lebih bisa membagi-bagikan ini,’
mereka berkata, ‘Ini semua untukmu,’ Zainab berkata, ‘Subhanallah, letakkanlah
uang-uang itu dan tutupilah dengan selembar kain!’ kemudian dia bagi-bagikan
uang itu kepada kerabatnya dan anak-anak yatimnya dan dia berikan sisanya
kepadaku yang berjumlah delapan puluh lima dirham, kemudian dia mengangkat
kedua tangannya ke langit dan berdoa, ‘Ya Allah jangan sampai aku mendapati
pemberian Umar lagi setelah tahun ini.’ Tidak lama kemudian dia meninggal
dunia.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Thabaqoh Kubra, 8:105-106)
Peran Zainab Di Dalam Penyebaran Sunah-Sunah Rasulullah
Zainab binti Jahsyi termasuk deretan istri-istri Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjaga dan menyampaikan sunah-sunah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara deretan perawi yang
meriwayatkan hadis dari beliau adalah saudaranya Muhammad bin Abdullah bin
Jahsyi, Ummul Mu’minin Ummu Habibah bintu Abi Sufyan, Zainab bintu Abi Salamah,
dan selain mereka dari kalangan shahabat dan tabi’in.
Wafatnya
Zainab binti Jahsyi wafat di Madinah pada tahun 20 Hijriyyah di
masa kekhilafahan Umar, saat Mesir ditaklukkan oleh kaum muslimin, waktu itu
beliau berusia 53 tahun. Beliau dikuburkan di pekuburan Baqi. Semoga Allah
meridhainya dan membalasnya dengan kebaikan yang melimpah.
Rujukan:
Thabaqoh Kubra oleh Ibnu Sa’ad (8:101-1150, Al-Muntakhob min Kitab
Azwajin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Zubair bin Bakar (1:48), Dalail
Nubuwwah 1:40-41 oleh Firyabi, Siyar A’lamin Nubala oleh Adz-Dzahabi
(2:211-218), Al-Ishabah oleh Ibnu Hajar (7:667-669), dan Al-Isti’ab oleh Ibnu
Abdil Barr. (4/1849-1452).
Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 6 Tahun III (Publis ulang dan edit
tatabahasa Tim KisahMuslim.com)