STORYPOS – Salah seorang dokter bercerita tentang kisah sangat menyentuh yang pernah dialaminya. Dokter itu memulai ceritanya dengan mengatakan:
“Suatu hari, masuklah seorang
wanita lanjut usia ke ruang praktek saya di sebuah Rumah Sakit. Wanita itu
ditemani seorang pemuda yang usianya sekitar 30 tahun. Saya perhatikan pemuda
itu memberikan perhatian yang lebih kepada wanita tersebut dengan memegang
tangannya, memperbaiki pakaiannya, dan memberikan makanan serta minuman padanya.
Setelah saya menanyainya seputar
masalah kesehatan dan memintanya untuk diperiksa, saya bertanya pada pemuda itu
tentang kondisi akalnya, karena saya dapati bahwa perilaku dan jawaban wanita
tersebut tidak sesuai dengan pertanyaan yang ku ajukan.
Pemuda itu menjawab: “Dia ibuku, dan memiliki
keterbelakangan mental sejak aku lahir”
Keingintahuanku mendorongku untuk
bertanya lagi : “Siapa yang merawatnya?”
Ia menjawab: “Aku”
Aku bertanya lagi: “Lalu siapa
yang memandikan dan mencuci pakaiannya?”
Ia menjawab: “Aku suruh ia masuk
ke kamar mandi dan membawakan baju untuknya serta menantinya hingga ia selesai.
Aku yang melipat dan menyusun bajunya di lemari. Aku masukkan pakaiannya yang
kotor ke dalam mesin cuci dan membelikannya pakaian yang dibutuhkannya”
Aku bertanya: “Mengapa engkau
tidak mencarikan untuknya pembantu?”
Ia menjawab: “Karena ibuku tidak
bisa melakukan apa-apa dan seperti anak kecil, aku khawatir pembantu tidak
memperhatikannya dengan baik dan tidak dapat memahaminya, sementara aku sangat
paham dengan ibuku” Aku terperangah dengan jawabannya dan
baktinya yang begitu besar.
Aku pun bertanya: “Apakah engkau
sudah beristri?”
Ia menjawab: “Alhamdulillah, aku
sudah beristri dan punya beberapa anak”
Aku berkomentar: “Kalau begitu
berarti istrimu juga ikut merawat ibumu?”
Ia menjawab: “Istriku membantu
semampunya, dia yang memasak dan menyuguhkannya kepada ibuku. Aku telah
mendatangkan pembantu untuk istriku agar dapat membantu pekerjaannya. Akan
tetapi aku berusaha selalu untuk makan bersama ibuku supaya dapat mengontrol
kadar gulanya”
Aku Tanya: “Memangnya ibumu juga
terkena penyakit Gula?”
Ia menjawab: “Ya, (tapi tetap
saja) Alhamdulillah atas segalanya”
Aku semakin takjub dengan pemuda
ini dan aku berusaha menahan air mataku…
Aku mencuri pandang pada kuku
tangan wanita itu, dan aku dapati kukunya pendek dan bersih.
Aku bertanya lagi: “Siapa yang
memotong kuku-kukunya?”
Ia menjawab: “Aku. Dokter, ibuku
tidak dapat melakukan apa-apa”
Tiba-tiba sang ibu memandang
putranya dan bertanya seperti anak kecil: “Kapan engkau akan membelikan untukku
kentang?”
Ia menjawab: “Tenanglah ibu,
sekarang kita akan pergi ke kedai”
Ibunya meloncat-loncat karena
kegirangan dan berkata: “Sekarang…sekarang!”
Pemuda itu menoleh kepadaku dan
berkata: “Demi Allah, kebahagiaanku melihat ibuku gembira lebih besar dari
kebahagiaanku melihat anak-anakku gembira…”
Aku sangat tersentuh dengan
kata-katanya…dan aku pun pura-pura melihat ke lembaran data ibunya.
Lalu aku bertanya lagi: “Apakah
Anda punya saudara?”
Ia menjawab: “Aku putranya semata
wayang, karena ayahku menceraikannya sebulan setelah pernikahan mereka”
Aku bertanya: “Jadi Anda dirawat
ayah?”
Ia menjawab: “Tidak, tapi nenek
yang merawatku dan ibuku. Nenek telah meninggal – semoga Allah subhanahu wa
ta’ala merahmatinya – saat aku berusia 10 tahun”
Aku bertanya: “Apakah ibumu
merawatmu saat Anda sakit, atau ingatkah Anda bahwa ibu pernah memperhatikan
Anda? Atau dia ikut bahagia atas kebahagiaan Anda, atau sedih karena kesedihan
Anda?”
Ia menjawab: “Dokter…sejak aku
lahir ibu tidak mengerti apa-apa…kasihan dia…dan aku sudah merawatnya sejak
usiaku 10 tahun”
Aku pun menuliskan resep serta
menjelaskannya…
Ia memegang tangan ibunya dan
berkata: “Mari kita ke kedai..”
Ibunya menjawab: “Tidak, aku
sekarang mau ke Makkah saja!”
Aku heran mendengar ucapan ibu
tersebut…
Maka aku bertanya padanya:
“Mengapa ibu ingin pergi ke Makkah?”
Ibu itu menjawab dengan girang: “Agar aku bisa naik pesawat!”
Aku pun bertanya pada putranya:
“Apakah Anda akan benar-benar membawanya ke Makkah?”
Ia menjawab: “Tentu…aku akan
mengusahakan berangkat kesana akhir pekan ini”
Aku katakan pada pemuda itu:
“Tidak ada kewajiban umrah bagi ibu Anda…lalu mengapa Anda membawanya ke
Makkah?”
Ia menjawab: “Mungkin saja
kebahagiaan yang ia rasakan saat aku membawanya ke Makkah akan membuat pahalaku
lebih besar daripada aku pergi umrah tanpa membawanya”.
Lalu pemuda dan ibunya itu
meninggalkan tempat praktekku.
Aku pun segera meminta pada
perawat agar keluar dari ruanganku dengan alasan aku ingin istirahat…
Padahal sebenarnya aku tidak tahan
lagi menahan tangis haru…
Aku pun menangis sejadi-jadinya
menumpahkan seluruh yang ada dalam hatiku…
Aku berkata dalam diriku: “Begitu
berbaktinya pemuda itu, padahal ibunya tidak pernah menjadi ibu sepenuhnya…
Ia hanya mengandung dan melahirkan
pemuda itu…
Ibunya tidak pernah merawatnya…
Tidak pernah mendekap dan
membelainya penuh kasih sayang…
Tidak pernah menyuapinya ketika
masih kecil…
Tidak pernah begadang malam…
Tidak pernah mengajarinya…
Tidak pernah sedih karenanya…
Tidak pernah menangis untuknya…
Tidak pernah tertawa melihat
kelucuannya…
Tidak pernah terganggu tidurnya
disebabkan khawatir pada putranya…
Tidak pernah….dan tidak pernah…!
Walaupun demikian…pemuda itu
berbakti sepenuhnya pada sang ibu”. Apakah kita akan berbbakti pada ibu-ibu
kita yang kondisinya sehat. Seperti bakti pemuda itu pada ibunya?
Subhanallah...