“Pasti Ada Yang Salah Dengan Diriku, Sehingga Lawan Jenispun Tanpa Sungkan-Sungkan Berani Mendekatiku”


STORYPOS – “Dag…..dig……dug…..” Detak jantungku seketika menjadi tidak karuan. Pompaannya terasa lebih cepat. Rasa gugup, risih dan jengkel juga bersatu padu. Keringat dinginpun sedikit demi sedikit mengucur membasahi tubuh.

Kedatangan teman kerja pria yang mendekatiku di ruang kerja yang saat itu tengah sepi, benar-benar telah membuatku kikuk tak berdaya. Keseriusan dalam mengerjakan tugas kantor pun langsung buyar. Pikiran nan mulanya tenang menjadi kalut.

Ingin melampiaskan kekesalan,  tidak mungkin. Perasaan tidak enak hati masih menguasai diri, walau batin menjerit meronta-ronta.

Meski saat itu aku masih berpakaian penutup aurat seadanya, belum sesuai dengan standar syariah (jilbab menutupi dada serta baju yang tidak menampakkan bentuk tubuh), aku yang notabene lulusan pondok, telah memiliki prinsip -prinsip dasar mengenai hubungan antar lawan jenis.

Aku berpegang teguh kepada prinsip untuk menjaga diri dari hubungan dengan lawan jenis. Wa bil khusus yang namanya pacaran. Bukan tanpa alasan. Tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah lah yang menjadi pijakanku.

Dalam Al-Qur’an, dengan jelas Allah menerangkan, agar segenap kaum muslimin/muslimah menghindari/menjauhi perilaku zina. Sedangkan pacaran, kuyakini adalah wasilah untuk mengarah ke arah sana (zina).

Sebab itu, kata “no” kepada hal-hal yang menjurus kepada pacaran, sebisa mungkin aku berusaha untuk menjauhinya. Bahkan, pernah terdetik di hati satu asa untuk menikah dengan seorang ikhwan di mana kami belum pernah bertemu sekalipun sebelumnya (Alhamdulillah, Allah kemudian mengabulkannya).

Kembali kepada kejadian di kantor siang itu. Saya benar-benar tidak menyangka akan terjadi kejadian itu. Sebelumnya tidak pernah ada.

Nahasnya, ternyata itu bukan kejadian yang terakhir. Beberapa kali kawan kerja pria itu melakukan hal serupa yang pada intinya kutangkap isyarat menjurus kepada keinginan menjalin hubungan percintaan alias pacaran.

Menghadapi situasi seperti ini, langkah intropeksi diripun langsung kulakukan.

“Pasti ada yang salah dengan diriku, sehingga lawan jenispun tanpa sungkan-sungkan berani mendekatiku.” Demikian simpulku waktu itu.

Saban hari, aku mendapat informasi tentang pengajian di salah satu tempat di kota pahlawan, Surabaya, yang tidak jauh dari tempat kerjaku. Tertarik, aku pun mengikuti acara itu.

Tak dinyana, salah satu tema pembahasan yang diangkat dalam kajian itu ialah masalah pakaian atau hijab muslimah menurut pandangan syari’ah.

Hatipun berbunga-bunga mendapati tema itu. Namun, ketika ulasan masalah batasan-batasan hijab yang harus digunakan oleh seorang muslimah semakin mendalam dikupas oleh sang pemateri, gemuruh hati semakin membahana. Aku tercengang.

Terpampang dengan jelas, betapa jauhnya jarak anatara hijab idealitas yang diutarakan oleh pemateri dengan realitas yang kujalani.

Bagaimana tidak; jilbab yang kugunakan masih berupa kerudung paris nan tipis; tembus pandang. Sedangkan pakaianku, meski tidak begitu ketat, tapi masih menunjukkan lekuk tubuh barang sedikit. Bahkan, sesekali aku masih menggunakan celana kain panjang sebagai bawahan ketika keluar untuk keperluan tidak memakan waktu lama.

Bandingkan dengan tuntunan syariah yang harus menutup sekujur tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Jilbabpun harus diulurkan hingga ke bawah dada. Untuk pakaian, selain harus longgar, tidak melihatkan lekuk tubuh. Selain itu, si pemateri juga menyampaikan, perlunya memperhatikan ketebalan kain dan warna pakaian.

“Seyogianya seorang muslimah tidak menggunakan pakaian-pakaian berbahan tipi serta warna-warna yang mencolok, sehingga bisa mencuri perhatian kaum laki-laki yang memandang ke arahnya,” jelas pemateri waktu itu.

Karena itu, setelah mengikuti pengajian, masalah hijab benar-benar menjadi perenunganku.

“Jangan-jangan karena gaun yang kugunakan ini kurang memenuhi standar syariat, sehingga masih ada laki-laki menggodaku.”

Tiba-tiba kesimpulan ini hadir di benakku, ketika teringat kejadian-kejadian yang menimpa di kantor; bagaimana seorang laki-laki berani mendekat-dekatiku di saat tidak ada orang sama sekali, lalu berupaya mengaitkannya dengan tema kajian hijab yang kuterima.

Singkat cerita, akhirnya kubulatkan tekat untuk merubah penampilan gaunku. Beberapa stel baju terusan (jubah besar) beserta kerudung yang besarnya hingga menutupi pinggang langsung kubeli.

Gaun-gaun inilah yang akhirnya kugunakan sehari-hari, tak terkecuali ke kantor. Terang para teman kerja banyak yang terbelalak melihat penampilanku. Bahkan ada di antara mereka (akhwat), iseng-iseng menggodaku.

“Awas, lho, nanti justru gak laku, karena dijauhi laki-laki,” candanya yang kusambut dengan senyum tipis.

Terlepas dari itu semua, ada satu kejadian yang membuatku tambah yakin; betapa tuntunan-tuntunan Al-Qur’an itu sejatinya berfungsi untuk memuliakan kehidupan manusia itu sendiri, tak terkecuali soal hijab.

Kudapati kenyataan dari pakain yang kugunakan, ada perubahan sikap yang ditunjukkan oleh teman kerja laki-laki yang beberapa kali melakukan pendekatan kepadaku itu. Ia kini sama sekali tidak pernah lagi berani mendekat-dekatiku seperti sebelum-sebelumnya.

Jangankan untuk berbicara empat mata, sekedar bertegur sapa saja tak selepas dulu lagi. Nampak ada sekat yang begitu tebal, sehingga menghalanginya untuk berbuat demikian. Aku tidak tahu persis, apa sejatinya itu. Mungkinkah itu karena perantara pakaian (hijab) yang kupakai atau ada unsur lainnya?? Wallahu ‘Alam.

Namun yang pasti, kudapati hijab syar’i yang kugunakan  telah menjadi penyelamatku dari gangguan laki-laki yang mengajak kepada keburukan. Al-Hamdulillah.

Dikisahkan oleh Fulanah yang pernah bekerja di salah satu lembaga pendidikan di kota Surabaya.

“Ambillah pelajaran dari setiap kejadian/cerita hai orang yang memiliki akal”

Sumber : Hidayatullah | Storypos :Ragam Cerita Kehidupan